Translate

الثلاثاء، 1 يناير 2013

PRESIDEN INDONESIA KEENAM ( SBY )


Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden sebelumnya, beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004. Lulusan terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.


Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas. Beliau dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).

Pendidikan SR adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY. Ketika duduk di bangku kelas lima, beliau untuk pertamakali kenal dan akrab dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian hari AMN berubah nama menjadi Akabri. SBY masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di selatan alun-alun. Ini adalah sekolah idola bagi anak-anak Kota Pacitan. Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka SBY pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).

Namun kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang itu, beliau mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, belaiu meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.

Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS. Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.

Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara 328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak. Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, 1975. Kemudian sekembali ke tanah air, SBY memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977. Beliau pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.

Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, beliau ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982). Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, beliau mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan SBY menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)

Lalu beliau dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989. SBY pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, beliau ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).

Lalu, beliau kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian menjabat
Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995). Tak lama kemudian, SBY dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia Herzegovina. Setelah kembali dari Bosnia, beliau diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996). Kemudian menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).

Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran kedua 20 September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60 persen. Dan pada tanggal 20 Oktober 2004 beliau dilantik menjadi Presiden RI ke-6.

Berikut ini data lengkap tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono

Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949

Agama : Islam

Jabatan : Presiden Republik Indonesia ke-6

Istri : Kristiani Herawati, putri ketiga (Alm) Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo

Anak : Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono

Ayah : Letnan Satu (Peltu) R. Soekotji

Ibu : Sitti Habibah

Pendidikan :

* Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
* American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare School, Panama, 1983
* Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando Batalyon, 1985
* Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS

Karier :

* Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
* Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
* Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
* Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
* Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
* Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
* Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
* Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
* Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
* Dosen Seskoad (1989-1992)
* Korspri Pangab (1993)
* Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
* Asops Kodam Jaya (1994-1995)
* Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
* Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
* Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
* Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
* Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
* Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
* Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
* Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid)
* Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11 Maret 2004

Penugasan : Operasi Timor Timur 1979-1980 dan 1986-1988

Penghargaan :

* Adi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
* Tri Sakti Wiratama (Prestasi Tertinggi Gabungan Mental Fisik, dan Intelek), 1973
* Satya Lencana Seroja, 1976
* Honorour Graduated IOAC, USA, 1983
* Satya Lencana Dwija Sista, 1985
* Lulusan terbaik Seskoad Susreg XXVI, 1989
* Dosen Terbaik Seskoad, 1989
* Satya Lencana Santi Dharma, 1996
* Satya Lencana United Nations Peacekeeping Force (UNPF), 1996
* Satya Lencana United Nations Transitional Authority in Eastern Slavonia, Baranja, and Western Sirmium (UNTAES), 1996
* Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, 1998
* Bintang Yudha Dharma Nararya, 1998
* Wing Penerbang TNI-AU, 1998
* Wing Kapal Selam TNI-AL, 1998
* Bintang Kartika Eka Paksi Pratama, 1999
* Bintang Yudha Dharma Pratama, 1999
* Bintang Dharma, 1999
* Bintang Maha Putera Utama, 1999
* Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003
* Bintang Asia (Star of Asia) dari BusinessWeek, 2005
* Bintang Kehormatan Darjah Kerabat Laila Utama dari Sultan Brunei
* Doktor Honoris Causa dari Universitas Keio, 2006

Alamat : Jl. Alternatif Cibubur Puri Cikeas Indah No. 2 Desa Nagrag Kec. Gunung Putri Bogor 16967


Referensi
- http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/biography/idx.asp?presiden=sby
- http://www.ghabo.com/gpedia/index.php/Susilo_Bambang_Yudhoyono

PRESIDEN INDONESIA KELIMA ( MEGAWATI )

MEGAWATI ( IBU NEGARA )

Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.

Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6. (Dari Berbagai Sumber)

PRESIDEN INDONESIA KEEMPAT ( GUS DUR )





GUS DUR Bapak Pluralis

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).
Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)
Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.
Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus  mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah  organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran.  Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU

Pada awal  1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto.  Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.

Menjadi Presiden RI ke-4

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Gus Dur

Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4

Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi  referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.  Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.  Netralisasi  Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland
Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia.  Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara.  Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.
Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not.  The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)
Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
  • Pertama :  Akan selalu berpihak pada yang lemah.
  • Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
  • Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.
Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.

Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi  dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :
  • Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
  • Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
  • Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
  • Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
  • Pejuang Kebebasan Pers
Referensi utama : wikipedia —- gusdur.net —-kompas3 Prinsip Hidup Gus Dur

PRESIDEN INDONESIA KETIGA (BJ. HABIBIE)

BJ. HABIBIE (BAPAK TEKNOLOGI DAN DEMOKRASI)

Masa Muda
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie (73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa [ibunya] dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].
Foto : BJ Habibie
Foto : BJ Habibie
Dimasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya,  R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman.
Berbeda dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri, kuliah Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang melakukan usaha catering dan indekost di Bandung setelah ditinggal pergi suaminya (ayah Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan predikat summa cum laude.
Pak Habibie melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya. Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan  indeks prestasi summa cum laude.
Karir di Industri
Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm  atau MBB Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.
Kembali ke Indonesia
Pada tahun 1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur  untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Dan ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung bersedia dan melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974 di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air.  Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat Jerman MBB pada  1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga 1997, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan lainnya.
Pesawat CN-235 milik Angkatan Udara Turki
Pesawat CN-235 karya IPTN milik AU Spanyol
Ketika menjadi Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara industri maju. Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada satu “quote” yang terkenal dari Habibie yakni :
I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)
Kalimat diatas merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola pikir Pak Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun bersedia menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.
Habibie menjadi RI-1

Secara materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President sekaligus Senior Advicer di perusahaan  high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih” kepada negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie, yakni setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat ini  yang menjadi politisi demi mencari kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi menjamur.
Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri  jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Pada saat bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat, politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter, yang  menangkap aktivis dan mahasiswa vokal.
Dipicu penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang dipegangnya selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan otoriter dan sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran yang dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan konglomerasi).
Soeharto mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi Presiden RI ke-3 berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai presiden hanya bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan Presiden Habibie mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang kehancuran akibat krisis. Presiden Habibie berhasil memimpin negara keluar dari dalam keadaan ultra-krisis, melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi demokrasi. Sukses melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai), sukses membawa perubahan signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.
Habibie merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan terutama di bidang IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya dalam bidang teknologi pesawat terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka dunia, antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.

Catatan-Catatan Istimewa BJ Habibie

Habibie Bertemu Soeharto
Laksanakan saja tugasmu dengan baik, saya doakan agar Habibie selalu dilindungi Allah SWT dalam melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara bathin saja“, lanjut Pak Harto menolak bertemu dengan Habibie pada pembicaraan via telepon pada 9 Juni 1998.
(Habibie : Detik-Detik yang Menentukan. Halaman 293)
Salah satu pertanyaan umum dan masih banyak orang tidak mengetahui adalah bagaimana Habibie yang tinggal di Pulau Celebes bisa bertemu dan akrab dengan Soeharto yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Pulau Jawa?
Pertemuan pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada tahun 1950 ketika Habibie berumur 14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan Kolonel) datang ke Makasar dalam rangka memerangi pemberontakan/separatis di Indonesia Timur pada masa pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto tinggal berseberangan dengan rumah keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda Habibie merupakan orang Jawa, maka Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat baik oleh keluarga Habibie. Bahkan,  Soeharto turut hadir ketika ayahanda Habibie meninggal. Selain itu, Soeharto pun menjadi “mak comblang” pernikahan adik Habibie dengan anak buah (prajurit) Letkol Soeharto. Kedekatan Soeharto-Habibie terus berlanjut meskipun Soeharto telah kembali ke Pulau Jawa setelah berhasil memberantas pemberontakan di Indonesia Timur.
Setelah Habibie menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan bekerja selama hampir selama 9 tahun (total 19 tahun di Jerman), akhirnya Habibie dipanggil pulang ke tanah air oleh Pak Harto.  Meskipun ia tidak mendapat beasiswa studi ke Jerman dari pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang untuk mengabdi kepada negara, terlebih permintaan tersebut berasal dari Pak Harto yang notabene adalah ‘seorang guru’ bagi Habibie. Habibie pun memutuskan kembali ke Indonesia untuk memberi ilmu kepada rakyat Indonesia, kembali untuk membangun industri teknologi tinggi di nusantara.
Bersama Ibnu Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto pada tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan beberapa gagasan pembangunan seperti berikut:
  • Gagasan pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri strategis
  • Gagasan pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek)
  • Gagasan mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan awal Habibie menjadi masukan bagi Soeharto, dan mulai terwujud ketika Habibie menjabat sebagai Menristek periode 1978-1998.
Namun, dimasa tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak. Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan” Pak Harto. Pemecatan Letjen (Purn) Prabowo Subianto dari jabatan Kostrad karena  memobilisasi pasukan kostrad menuju Jakarta (Istana dan Kuningan) tanpa koordinasi atasan merupakan salah satu kebijakan yang ‘menyakitkan’ pak Harto. Padahal Prabowo merupakan menantu kesayangan Pak Harto yang telah dididik dan dibina menjadi penerus Soeharto. Pemeriksaan Tommy Soeharto sebagai tersangka korupsi turut membuat Pak Harto ‘gerah’ dengan kebijakan pemerintahan BJ Habibe, terlebih dalam beberapa kali kesempatan di media massa,  BJ Habibie  memberi lampu hijau untuk memeriksa Pak Harto. Padahal Tommy Soeharto merupakan putra “emas’ Pak Harto. Dan sekian banyak kebijakan berlawanan dengan pemerintah Soeharto dibidang pers, politik, hukum hingga pembebasan tanpa syarat tahanan politik Soeharto seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan.
Habibie : Bapak Teknologi Indonesia*
Pemikiran-pemikiran Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa dikatakan bahwa Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra” untuk mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi, beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah Soeharto mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri teknologi tinggi seperti saran Habibie.
Tanggal 26 April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan menjadi industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan : Nurtanio meruapakan Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985, kemudian direkstrurisasi, menjadi Dirgantara Indonesia (PT DI) pada Agustuts 2000. Perlakuan istimewapun dialami oleh industri strategis lainnya seperti PT PAL dan PT PINDAD.
Sejak pendirian industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri teknologi tinggi.  Dan anggaran dengan angka yang sangat besar dikeluarkan sejak 1989 dimana Habibie memimpin industri-industri strategis. Namun, Habibie memiliki alasan logis yakni untuk memulai industri berteknologi tinggi, tentu membutuhkan investasi yang besar dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak mungkin dirasakan langsung. Tanam pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi industri teknologi tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala Habibie masih belum menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya operasi industri-industri strategis yang cukup besar.
Industri-industri strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal, tank, panser, senapan kaliber,  water canon, kendaraan RPP-M, kendaraan combat dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun militer.
Untuk skala internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai proyek desain dan konstruksi pesawat terbang seperti Fokker F 28, Transall C-130 (militer transport), Hansa Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus A-300, pesawat transport DO-31 (pesawat dangn teknologi mendarat dan lepas landas secara vertikal), CN-235, dan CN-250 (pesawat dengan teknologi fly-by-wire). Selain itu, Habibie secara tidak langsung ikut terlibat dalam proyek perhitungan dan desain Helikopter Jenis BO-105, pesawat tempur multi function, beberapa peluru kendali dan satelit.
Panser 6x6 Buatan Pindad
Karena pola pikirnya tersebut, maka saya menganggap beliau sebagai bapak teknologi Indonesia, terlepaskan seberapa besar kesuksesan industri strategis ala Habibie. Karena kita tahu bahwa pada tahun 1992, IMF menginstruksikan kepada Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada IPTN, sehingga pada saat itu IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini dikarenakan rencana Habibie membuat satelit sendiri (catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 pemakaian satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri. Hal ini didukung dengan 40 0rang tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman kerja di perusahaan pembuat satelit Hughes Amerika akan ditarik pulang ke Indonesia untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di Indonesia. Jika hal ini terwujud, maka ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi pangsa pasar) sekaligus kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer Indonesia.
Teori Pembangunan Ekonomi  Habibie
Menjadi pimpinan di Industri Pesawat Terbang skala besar di Jerman selama bertahun-tahun memberikan inspirasi dan mempengaruhi pemikiran Habibie. Berlandaskan pengalaman itu, Habibie memiliki keyakinan bahwa untuk bisa menjadi negara maju tidak selalu perlu melewati “tahap-tahap” pembangunan yakni pertanian/agraris industri pengolahan pertanian, manufaktur, industri teknologi rendah/menengah baru ke teknologi tinggi. Ia mengemukan teori pembangunan ekonomi negara yang berbeda yakni “Dari negara agraris langsung melompat ke tahap negara industri teknologi tinggi”, tanpa harus menunggu dan melewati kematangan indsutri pertanian, atau tahapan industri manufaktur serta teknologi rendah.
“The basis of any modern economy is in their capability of using their renewable human resources. The best renewable human resources are those human resources which are in a position to contribute to a product which uses a mixture of high-tech.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)
Dari teori pembangunan ekonomi tersebut, Habibie sangat menekankan pada kualitas SDM bukan semata SDA. Dengan meningkatkan sumber daya manusia (human resources), maka kita dapat membuat produk berteknologi tinggi dimana memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini pun akan mentriger berdirinya perusahaan-perusahaan pendukung dengan teknologi lebih rendah. Jadi, prinsip pembangunan industri ala Habibie adalah Top-Down (dari tinggi hingga ke rendah). Sedangkan secara konvensional adalah dari Down-Top (dari industri teknologi rendah ke teknologi tinggi).
Selama masa pengabdiannya di Indonesia, Habibie memegang 47 jabatan penting seperti : Direkur Utama (Dirut) PT. Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN), Dirut PT Industri Perkapalan Indonesia (PAL), Dirut PT Industri Senjata Ringan (PINDAD), Kepala Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Kepala BPPT, Kepala BPIS, Ketua ICMI, dan masih banyak lagi.
Habibie : Bapak Demokrasi Indonesia

Ketika mendapat amanah menjadi Presiden RI ke-3, kondisi ekonomi, sosial, stabilitas politik, keamanan di Indonesia berada di ujung tanduk “revolusi”. Dengan mengambil kebijakan yang salah serta pengelolaan ekonomi yang tidak tepat, maka Indonesia 1998 berpotensi masuk dalam era “chaos” ataupun revolusi berdarah. (catatan : perlu diingat bahwa reformasi 1998 menelan ratusan bahkan ribuan korban pembunuhan dan  pemerkosaan serta serangkaian  kerusuhan, penjarahan, pembakaran, yang terutama ditujukan  pada etnis Tionghoa). Untungnya di tahun 1998, Indonesia tidak masuk dalam era revolusi jilid-2 namun hanya masuk dalam era reformasi.
Belajar dari kesalahan presiden pendahulunya, Jenderal Soeharto, Presiden Habibie memimpin Indonesia dengan cermat, cepat, telaten, rasional dan reformis. Habibie menunjukkan perhatiannya terhadap keinginan bangsa untuk lebih mengerti dan menerapkan prinsip umum demokrasi. Perhatiannya didasarkan pada pengamatan Habibie pada pemerintahan Orde Lama dan sebagai pejabat pada masa Orde Baru, dimana telah mengarahkan beliau untuk mempelajari situasi yang ada. Melalui proses yang sistematik, menyeluruh, dan menyatu, Habibie mengembangkan sebuah konsep yang lebih jelas, sebuah pengejewantahan dari proaktif dan prediksi preventive atas interpretasi dari demokrasi sebagai sebuah mesin politik. Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam berbagai agenda politik, ekonomi, hukum dan keamanan seperti:
  • Kebebasan multi partai dalam pemilu (UU 2 tahun 1999)
  • Undang Undang anti monopoli (UU 5 tahun 1999)
  • Kebijakan Independensi BI agar bebas dari pengaruh Presiden (UU 23 tahun 1999)
  • Kebebasan berkumpul dan berbicara, (selanjutnya masyarakat lebih mengenal istilah demonstrasi)
  • Pengakuan Hak Asasi Manusia (UU 39 tahun 1999)
  • Kebebasan pers dan media,
  • Usaha usaha menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau dengan kata lain adalah pemerintahan yang baik dan bersih. (Membuat UU Pemberantasan Tindak Korupsi pada tahun 1999)
  • Penghormatan terhadap badan badan hukum dan berbagai institusi lainnya yang dibentuk atas prinsip demokrasi;
  • Pembebasan tahanan-tahanan politik tanpa syarat, (eg. Sri Bintang Pamungkas dan Muktar Pakpahan)
  • Pemisahan Kesatuan Polisi dari Angkatan Bersenjata.
Dalam waktu yang relatif singkat sebagai Presiden RI, Habibie telah memelihara pandangan modern beliau dalam demokrasi dan mengimplementasikannya dalam setiap proses pembuatan keputusan. Peran penting Habibie dalam percepatan proses demokrasi di Indonesia dikenal baik oleh masyarakat nasional ataupun internasional sehingga beliau dianggap sebagai “Bapak Demokrasi“. Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata. Ketika MPR, institusi tertinggi di Indonesia yang memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie (masalah referendum Timor-Timur), Habibie secara berani mengundurkan diri dari pemilihan Presiden yang baru pada tahun 1999. Beliau melakukan ini, selain penolakan MPR atas pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut serta dalam pemilihan, dan keyakinan dari pendukung beliau bahwa beliau akan tetap bisa unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin bahwa sekali pidatonya ditolak oleh MPR akan menjadi tidak etis baginya untuk terus ikut dalam pemilihan. Keputusan ini juga dimaksudkan sebagai pendidikan politik dari arti sebuah demokrasi.
Karena “demokratis”-nya Habibie, maka iapun memberikan opsi referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menentukan sikap masa depannya. Namun, perlu dicatat bahwa Habibie bukanlah orang yang bodoh dengan mudah memberikan opsi referendum tanpa alasan yang jelas dan tepat. Habibie sebagai Presiden RI memberikan opsi referendum kepada rakyat Timor-Timur mengingat bahwa Timor-Timur tidak masuk dalam peta wilayah Indonesia sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara yuridis, wilayah kesatuan negara Indonesai sejak 17 Agustus 1945 adalah wilayah bekas kekuasaan kolonialisme Belanda yakni dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Irian Jaya/ Papua). Ketika Indonesia merdeka, Timor-Timur merupakan wilayah jajahan Portugis, dan bergabung bersama Indonesia dengan dukungan kontak senjata.
Bagi sebagian orang menganggap bahwa masuknya militer Indonesia di Timor-Timur merupakan bentuk neo-kolonialisme baru (penjajahan modern) dari Indonesia pada tahun 1975. Seharusnya Indonesia tidak ikut campur pada proses kemerdekaan Timor-Timur dari penjajahan Portugis. Jadi, kita dapat memahami dibalik landasan Habibie dimana provinsi Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dicatat bahwa  kasus Aceh dan Papua berbeda dengan Timor-Timur.
Habibie : Master of Economic
Sejak era reformasi 1998, tampaknya hanya Habibie yang menjadi presiden yang benar-benar sukses mengelola ekonomi dengan baik. Dalam kondisi yang amburadul, kacau balau baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan tiada hari tanpa demonstrasi, Habibie mampu membawa ekonomi Indonesia yang lebih baik.
Meskipun Presiden Singapura Lee Kuan Yeew berusaha mendiskritkan kemampuan Habibie untuk memimpin Indonesia, toh Habibie menunjukkan bukti. Ketika banyak orang yang menyangsikan bahwa Habibie mampu bertahan selama 3 hari sebagai Presiden, namun semua dapat dilalui. Lalu, pihak-pihak yang tidak suka dengan Habibie pun menyampaikan opini bahwa Habibie tidak mampu bertahan lebih dari 100 hari. Sekali lagi, Habibie membuktikan bahwa ia mampu memimpin Indonesia dalam kondisi kritis.
Dari nilai tukar rupiah Rp 15000 per dollar diawal jabatannya, Habibie mampu membawa nilai tukar rupiah ke posisi Rp 7000 per dollar. Ketika inflasi mencapai 76% pada periode Januari-September 1998, setahun kemudian Habibie mampu mengendalikan harga barang dan jasa dengan kenaikan 2% pada periode Januari-September 1999. Indeks IHSG naik dari 200 poin menjadi 588 poin setelah 17 bulan memimpin. Tentu, indikator-indikator kesuksesan ekonomi era Habibie tidak dapat diikuti dengan baik oleh masa pemerintah Megawati maupun SBY.
Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie sebenarnya tidak lepas dari usaha keras dan perubahan mendasar dari para tokoh reformis yang duduk di kabinet seperti Adi Sasono (Men. Koperasi), Soleh Salahuddin (Men. Kehutanan dan Perkebunan), Tanri Abeng (Men. BUMN). Namun, perlu disadari bahwa Habibie bukanlah presiden yang benar-benar reformis dalam menolak kebijakan ekonomi ala IMF. Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa menjalana 50 butir kesepakatan (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi di Indonesia pada hakikatnya lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan ekonomi “terapis” ataupun “obat tradisional”.  Sehingga ketika meninggalkan tampuk kekuasaan, Indonesia masih rapuh.
Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai tokoh-tokoh Orba duduk di kabinetnya, padahal masyarakat menuntut reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai Presiden Transisi, bukan Presiden yang Reformis.
Habibie : Cendekiawan Muslim

Kekuasaan adalah amanah dan titipan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, bagi mereka yang percaya atas eksistensi-Nya. Bagi mereka yang tidak percaya atas eksistensi-Nya, kekuasaan adalah amanah dan titipan rakyat. Pemilik kekuasaan tersebut, setiap saat dapat mengambil kembali milik Nya dengan cara apa saja.
(Habibie : Detik Detik yang Menentukan, halaman 31)
Selain memiliki kecerdasan yang tinggi (mungkin orang terjenius dari Indonesia), Habibie dikenal sebagai cendekiawan muslim yang taat sekaligus reformis. Dalam menghadapi berbagai kesulitan, Habibie tidak luput dari do’a dan sholat untuk mendapat petunjuk atau ilham. Mendapat jabatan sebagai Presiden bagi Habibie merupakan amanah dan titipan dari Allah untuk mengabdi dengan sepenuh hati.
Meskipun tidak terjun dalam dunia politik dan kekuasaan, Habibie tetap memberikan sumbangsih kepada bangsa Indonesia dengan mendirikan The Habibie Centre pada 10 November 1999. Habibie Center merupakan organisasi yang berusaha memajukan proses modernisasi dan demokratisasi di Indonesia yang didasarkan pada moralitas dan integritas budaya dan nilai-nilai agama. Ada dua misi utama Habibie centre yakni  (1) menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural yang mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengkaji dan mengangkat isu-isu perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia, dan (2) memajukan dan meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia dan usaha sosialisasi teknologi. Beberapa kegiatan yang dikenal luas oleh masyarakat dari Habibie Centre yakni seminar, pemberian beasiswa dalam dan luar negeri, Habibie Award serta diskusi mengenai peningkatan SDM maupun IPTEK.
Selain mendirian The Habibie Centre, Habibie juga berjasa dalam pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember  1990 atas persetujuan Soeharto. ICMI merupakan wahana menampung cendekiawan-cendekiawan muslim untuk bersama-sama berkontribusi bagi bangsa dan masyarakat. Pada awalnya, ICMI didirikan untuk menampung aspirasi pengusaha non-China  yang benci akan kekayaan dan pengaruh dari keluarga etnis China yang kaya. ICMI mempunyai bank sendiri dan koran harian yang diberi nama Republika. Banyak umat muslim yang ikut terdaftar dalam keanggotaan ICMI termasuk cendekiawan pengkritik pemerintah Soeharto yakni (Alm) Prof. Nurcholish Majid dan Prof. Amien Rais.
Kritikan Untuk Seorang Habibie ketika Menjadi Presiden
Tidak ada gading yang tidak tidak retak, begitu juga halnya pada diri BJ Habibie. Ada beberapa kepribadian dan sikap/kebijakan BJ Habibie khususnya di masa pemerintahannya yang kontroversial dan dianggap buruk. Dibidang kepribadian, BJ Habibie dikenal sebagai orang yang kurang bisa dikritik (langsung reaktif), meskipun disisi lain beliau sangat menghargai pendapat orang lain, dan senang berdebat. Hal ini sangat mungkin disebabkan karena beliau terlampu jenius, terlalu cerdas.  Salah satunya adalah kengototan Menristek BJ Habibie membeli 36 kapal perang bekas Jerman Timur pada 1992. Padahal terjadi pembengkakan pembelian kapal perang bekas dari USD 12.7 juta menjadi USD 1.1 miliar.
Ketika menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto, banyak orang berharap agar BJ Habibie dapat bertindak tegas kepada Pak Harto yang diduga melakukan KKN, setidaknya gurita KKN di Cendana dan kroni Soeharto lainnya. Namun, selama menjadi Presiden RI, BJ Habibie tidak pernah memeriksa Soeharto. Pres Habibie dianggap  memasang badan melindungi Soeharto sampai-sampai Jam Intel Kejagung Mayjen (Purn) Syamsal Djalal dipecat. Menurut pengakuan mantan Jam Intel Kejagung Syamsul Djalal, ia dipecat lantaran mengusulkan agar Pak Harto secepatnya dibawah ke pengadilan. Bisa dimaklumi pula bahwa Habibie dalam posisi dilematis, karena bagaimanapun Pak Harto adalah salah satu gurunya.
Hal lain yang menjadi catatan hitam Pak Habibie adalah penangangan kasus Bank Bali. Presiden BJ Habibie dianggap kurang serius menangani kasus  yang melibatkan orang-orang yang dekat dengan Habibie. Mereka yang disebut-sebut terlibat dalam skandal Bank Bali diantaranya adalah Timmy Habibie (adik kandung Habibie), AA Baramuli (Ketua DPA), Setya Novanto (Wa.Bendara Golkar) dan Tanri Abeng. Dikalangan pengusaha, terlibat konglomerat hitam Djoko Tjandra yang selama ini dekat dengan petinggi Golkar.
Penutup
Setelah tulisan biografi Habibie yang “super panjang” ini, saya akan mengakhiri ceritera ini dengan beberapa poin harapan.
  • Semoga  “Habibie-Habibie” baru yang genius bermunculan di seantero nusantara sehingga Indonesia tidak hanya menjadi “penonton” atau konsumen atas produk-produk berteknologi
  • Semoga generasi muda bangsa Indonesia memiliki semangat teknopreneur yang minimal sama dengan semangat Habibie dalam mengembangkan industri-industri strategis. Dan harapannya, orang-orang pintar dan cerdas Indonesia dapat memberikan karyanya bagi perkembangan industri Indonesia, bukan menghabiskan seluruh hidupnya di perusahaan asing.
  • Para calon pemimpin dan para politisi partai perlu bercermin diri dan cobalah insaf agar “tidak gila kekuasaan”, dan ketika memegang kekuasaan jangan serakah (KKN) dan sombong.
  • Saya bangga dengan sikap Habibie yang tidak mencalonkan diri sebagai presiden, namun beliau tetap memberikan kontribusi nyata melalui berbagai organisasinya seperti The Habibie Centre serta siap selalu memberikan masukan dan bimbingan bagi para politisi/penguasa melalui berbagai dialog atau seminar.
  • Semoga Habibie terus memberikan sumbangsih pemikiran dan tenaganya bagi bangsa Indonesia dan selalu dikarunia fisik yang sehat.
Referensi :

PRESIDEN INDONESIA KEDUA (SOEHARTO)

SOEHARTO
BAPAK PEMBANGUNAN





Tidak suka bicara, tidak terbuka, suka menyendiri, tanpa emosi, Suharto memerintah Indonesia selama 32 tahun sebagai seorang misterius, seorang diktator yang tampil sebagai tokoh tanpa wajah, yang tidak menonjol di dalam suatu pemerintahan yang a-politis. Pidato-pidatonya menjemukan, mudah terlupakan, penuh dengan kata-kata birokrat yang menjemukan, klise-klise yang usang, dan nasehat-nasehat yang saleh. Tidak ada satu pun pernyataannya yang bisa membuat orang terkenang padanya sekarang. Orang Indonesia, jika ditanya, akan sia-sia berusaha mengingat suatu kutipan pun yang berasal dari dia, sedangkan di lain pihak, bahkan anak muda bisa mengutip kata-kata Sukarno, presiden yang digulingkannya pada tahun 1965. Suharto meninggalkan kenangan tanpa kata.
Jarang diwawancarai, tapi sering dipotret, ia dikenang dari sebuah gerak tubuh: senyum. Begitulah ia ingin dikenal: biografi yang disuruhnya buat pada tahun 1969 berjudul: “Jenderal yang Tersenyum”. Itu adalah senyum “kucing Cheshire”(*), terpaku di tempatnya, menyembunyikan sesuatu, tidak mengungkapkan isi hatinya, dan menimbulkan tanda-tanya tentang intrik-intrik dan kekerasan apalagi yang tengah disulap di dalam otak yang ada di baliknya.
————
(*) “Cheshire cat”, kucing yang diceritakan dalam kisah khayalan terkenal, “Alice’s Adventures in Wonderland”, karya Lewis Carroll. Kucing itu bisa muncul dan lenyap sesuka hati; akhirnya ia berangsung-angsur lenyap dan hanya tinggal senyumnya saja, sehingga Alice berkata: “Saya sering melihat kucing tanpa senyum, tapi belum pernah melihat senyum tanpa kucing.”
————-
Orang tua Suharto merupakan misteri. Dalam “otobiografi”-nya, yang ditulis oleh orang yang paling bertanggung-jawab atas pembentukan citra publiknya, G. Dwipayana, Suharto mengklaim bahwa ia dilahirkan di kalangan petani miskin di desa Kemusuk di dekat Yogyakarta. Sebuah majalah yang dimiliki oleh bos intelijen militer yang dipercayanya mengklaim pada tahun 1974, bahwa ayahnya seorang ningrat. Dalam sebuah jawaban yang mungkin disiapkan lebih dulu, Suharto mengundang wartawan ke ruang kerjanya di istana kepresidenan untuk menjelaskan garis keturunannya dan mengajukan saksi-saksi yang dapat menguatkan bahwa ia sungguh-sungguh orang yang baik, jujur dan dapat dipercaya. Sekalipun ia menyanggah, garis keturunannya tetap diragukan. Di kalangan orang Indonesia tersebar luas cerita bahwa ia anak tidak sah dari seorang pedagang Cina.
Karir yang menyenangkan
Apa pun asal-mulanya dan pengalaman masa kanak-kanaknya, di masa dewasa ia jelas adalah seorang militer karir. Ia masuk militer Belanda pada tahun 1940, yang merupakan peristiwa yang dalam “otobiografi”-nya dikatakannya sebagai “kunci yang membuka pintu kepada sebuah kehidupan yang menyenangkan”. Kehidupan menyenangkan yang terdiri dari baris-berbaris dan latihan itu berlanjut pada masa pendudukan Jepang, ketika ia menjadi anggota milisi Peta. Seperti anggota milisi lain, ia bergabung dengan tentara nasional Indonesia yang baru dibentuk begitu militer Jepang menyerah pada Agustus 1945. Tidak dimungkinkan lagi untuk kembali mengabdi pada Belanda, karena Belanda telah dilucuti kekuasaan dan kekayaannya oleh Jepang dan menjalani tahun-tahun perang di dalam kamp-kamp konsentrasi yang kotor dan tidak nyaman.
Berkat latihan militer yang pernah diikutinya, Suharto diberi pangkat tinggi (letnan kolonel) dalam tentara Indonesia yang baru itu, yang dibentuk untuk melakukan perang gerilya melawan tentara Belanda yang datang kembali. Pada tahun 1948 ia telah menjadi komandan sebuah brigade pasukan yang ditempatkan di dalam dan di sekitar Yogyakarta, ibukota Republik. Serangan-serangan gerilya tentara itu tidak banyak bermanfaat dalam menghambat kemajuan pasukan Belanda.
Sekalipun lebih menguasai medan di kandang sendiri, Suharto dikejutkan pada 19 Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerbu Yogyakarta dan menguasainya pada hari yang sama tanpa menghadapi perlawanan sedikit pun. Entah bagaimana, keempat batalyon Suharto sedang berada di luar kota. Itu merupakan kemunduran terburuk bagi Republik: kedua orang pimpinan tertingginya, Sukarno dan Hatta, tertawan.
“Politik saya terletak di ujung bayonet.”
Suharto mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri ketika ia memimpin sebuah serangan terhadap kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Serangan itu hanya menimbulkan kerusakan kecil di kalangan pasukan Belanda yang menduduki kota itu dan dipukul mundur dalam waktu enam jam. Namun, Suharto dan para komandan militer lain mengklaim bahwa mereka telah menguasai kota untuk sementara waktu dan membuktikan kehebatan angkatan bersenjata Republik kepada dunia. Setelah Suharto berkuasa pada tahun 1965, peristiwa itu disulap menjadi kemenangan yang menentukan dalam perang kemerdekaan, dan dibuatlah film tentang peristiwa itu, “Janur Kuning” (1979), dan di kota Yogya didirikan sebuah monumen besar untuk mengenangnya (1985).
Sebagai orang yang pernah bekerja dalam tiga tentara yang berbeda dalam kurun waktu satu dasawarsa, Suharto mempunyai komitmen politik yang enteng. Salah satu kolega militernya belakangan berkata pada seorang wartawan, bahwa pada tahun 1948 Suharto pernah berkata, “Politik saya terletak di ujung bayonet.” Tidak heran bahwa Sukarno dan menteri pertahanannya yang berhaluan kiri memasukkan komisaris politik di dalam tentara. Seperti banyak tentara yang dilatih di bawah perwira Belanda dan Jepang, Suharto tidak punya pengalaman didalam gerakan nasionalis populer yang telah berjuang melawan imperialisme.
Menapak jenjang kepangkatan
Setelah kemerdekaan tercapai dalam tahun 1949, Suharto menanjak pangkatnya: kolonel, brigadir jenderal, mayor jenderal. Ia pernah mengalami kemunduran pada tahun 1959, ketika ia diberhentikan sebagai komandan tentara di Jawa Tengah karena korupsi. Tetapi peristiwa itu ditutupi dan ia direhabilitasi dengan cepat. Ia ditugasi memimpin operasi merebut Irian Barat dari Belanda pada tahun 1962 – operasi itu dihentikan pada saat terakhir dengan tercapainya kesepakatan diplomatik. Ia lalu dipindahkan ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai komandan cadangan angkatan darat, Kostrad, pada tahun 1963. Dengan catatan karir yang tidak menonjol, pendidikan yang rendah, dan tidak menguasai bahasa asing, pada tahun 1965 ia menjadi calon utama untuk menduduki jabatan tertinggi di angkatan darat, dan bertindak menggantikan panglima angkatan darat, Yani, bila ia pergi keluar negeri.
Suharto naik ke puncak militer yang kemudian menjadi semacam negara di dalam negara, memiliki komandan teritorial, yang pada mulanya didesain untuk pertahanan terhadap invasi asing, tetapi kemudian memerintah masyarakat sipil.
Kebanyakan dari jenderal-jenderal lain, termasuk yang paling senior, A.H. Nasution, sangat anti-komunis dan bertekad menahan kekuatan PKI yang tengah meningkat pada awal 1960an. Untuk menandingi partai itu, mereka pun membentuk serikat buruh, perhimpunan seniman, dan surat kabar. Mereka berhubungan dengan organisasi-organisasi keagamaan dan partai-partai politik, dan meyakinkan mereka bahwa bila perlu militer akan menggunakan kekerasan terhadap PKI.
Suharto tidak secara jelas memihak pada salah satu pihak. Seorang mantan anggota PKI di parlemen mengatakan kepada saya, bahwa DN Aidit, ketua PKI, pada awal 1965 mengira bahwa Suharto seorang perwira yang “demokratis” oleh karena ia mendukung pengakhiran SOB (keadaan perang) pada tahun 1963. Tetapi Suharto juga berhubungan dengan golongan anti-komunis dalam usaha tertutupnya untuk mengerem kampanye anti-Malaysia Sukarno yang dimulai pada tahun 1963.
Hari yang beruntung baginya
Duduk di pinggiran ternyata membawa Suharto pada puncak kekuasaan. Ketika para perwira militer yang pro-PKI dan pro-Sukarno memutuskan bertindak terhadap para perwira saingan mereka, mereka beranggapan Suharto akan mendukung mereka. Sekelompok perwira junior mengorganisir penculikan tujuh jenderal angkatan darat pada 1 Oktober 1965. Dua di antara komplotan itu adalah sahabat dekat Suharto, dan seorang di antaranya menceritakan kepada Suharto rencana komplotan itu sebelum terjadi. Para penculik, yang menamakan diri Gerakan 30 September, akhirnya membunuh enam jenderal, termasuk di antaranya panglima angkatan darat, Yani. Itu adalah hari yang menguntungkan bagi Suharto. Dengan absennya Yani, ia menjadi panglima angkatan darat. Gerakan 30 September tidak diotaki oleh Suharto tetapi peristiwa itu justru memberi kesempatan baginya untuk mencapai cita-citanya.
Sebagai komandan militer, Suharto mulai menentang perintah-perintah presiden dan menerapkan agenda yang sejak lama dimiliki oleh para perwira anti-komunis, yakni mengurangi pengaruh Sukarno sehingga menjadi presiden tanpa kekuasaan, menghancurkan PKI, dan menegakkan kediktatoran militer. Sikap anti-komunis Suharto bukan berasal dari komitmen ideologis yang mendalam.
Seandainya Gerakan 30 September berhasil dan kaum komunis meraih kekuasaan lebih besar, kita bisa dengan mudah membayangkan bagaimana Suharto yang selalu oportunistik itu menyesuaikan diri dengan rejim yang baru. Ia adalah perwira yang biasa dan sama sekali tidak menonjol, sehingga pada minggu-minggu pertama Oktober itu banyak pengamat mengira bahwa ia sekadar mengikuti pimpinan Nasution.
Kudeta merangkak
Menyingkirkan Presiden Sukarno ternyata tidak terlalu sulit. Tokoh besar nasionalisme Indonesia, “penyambung lidah rakyat”, terus-menerus memprotes, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk menyetop meriam Suharto. Ia menguatkan Suharto sebagai panglima angkatan darat, menaikkan pangkatnya, dan memberinya kekuasaan darurat. Puncak dari kudeta merangkak terjadi pada Maret 1966, ketika Suharto menggunakan perintah yang kata-katanya samar tentang “menjamin keamanan” dari Sukarno sebagai justifikasi untuk menangkap 15 menteri dan membubarkan kabinet Sukarno–seolah-olah presiden memerintahkan penggulingan dirinya sendiri.
Penghancuran PKI–prakondisi untuk menerapkan suatu kebijakan politik baru yang didominasi militer–ternyata juga tidak terlalu sulit. Pimpinan PKI, yang kalang kabut setelah 1 Oktober, menyerukan kepada para anggotanya untuk tidak melawan supaya Presiden Sukarno dapat mengatur suatu pemecahan politis terhadap krisis itu. Tetapi presiden tidak berkuasa atas tentara Suharto. Bekerja sama dengan milisi sipil, tentara mengorganisir sebuah pertumpahan darah yang paling buruk dari abad ke-20, menangkap lebih dari sejuta orang, lalu dengan diam-diam membunuh banyak di antara mereka. Tahanan-tahanan lenyap di waktu malam. Kuburan-kuburan massal terisi mayat-mayat yang tak terhitung banyaknya tersebar tanpa tanda di seluruh Sumatra, Jawa dan Bali.
Tidak ada dokumen yang membuktikan bahwa Suharto memerintahkan satu pembunuhan pun. Dalam beberapa kesempatan yang jarang, ketika ia berbicara tentang pembunuhan-pembunuhan itu pada tahun-tahun belakangan, ia menyalahkan orang-orang sipil yang mengamuk. Penyelidikan yang saksama terhadap siapa, di mana, kapan dan bagaimana berkaitan dengan pembunuhan-pembunuhan itu mengungkapkan bahwa militerlah yang paling bertanggung-jawab dan bahwa Suharto setidak-tidaknya menyetujuinya, kalau bukan ia yang memberikan perintah lisan atau tertulis yang eksplisit untuk melakukannya.
Wortel & cemeti
Dalam merebut kekuasaan, Suharto dan perwira-perwira militer kliknya menyadari bahwa stabilitas jangka panjang dari kekuasaan mereka akan bergantung pada kemampuan mereka untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat. Mereka berpaling pada bantuan, penanaman modal dan pasar luar negeri untuk memberikan rangsangan utama bagi pertumbuhan ekonomi. Modal Barat yang memboikot Indonesia karena kebijakan politik Sukarno dulu mendapati permadani selamat datang terhampar menyambut mereka. Suharto sendiri campur tangan pada akhir 1965 untuk menghentikan usaha menteri perindustrian Sukarno untuk menasionalisir sektor minyak. Dengan kampanye teror militer terhadap serikat buruh di ladang-ladang minyak, kebun-kebun karet, dan pabrik-pabrik, modal Barat memperoleh tenaga kerja yang patuh.
Salah satu alasan bagi kemampuan Suharto yang mencolok untuk mempertahankan kekuasaan begitu lama adalah kebijakannya memperluas kesempatan kerja di sektor publik. Pada akhir kekuasaannya, 4,6 juta orang mendapat gaji dari pemerintah, tiga kali lebih banyak daripada pada awal tahun 1970an. Jutaan orang lagi merupakan tanggungan para pegawai makan gaji ini. Jaminan gaji bulanan itu menarik, sekalipun pendapatannya rendah. Di samping itu, sejumlah jabatan di pemerintahan memungkinkan orang untuk mendapat lebih banyak uang dengan korupsi.
Para pegawai negeri ini beserta sanak keluarganya merupakan basis pendukung kunci bagi rejim ini, dengan memberikan suara dan berkampanye bagi partai pemerintah, Golkar, pada setiap pemilihan umum. Mereka yang tidak memilik Golkar dipersalahkan karena menggigit tangan yang memberi mereka makan, dan kehilangan kesempatan untuk naik pangkat.
Tanggapan Suharto terhadap pembangkangan–menggunakan bahasa sekarang–adalah ‘gertak & bikin takut’. Di Papua, ia menempatkan tentara pendudukan yang memperlakukan penduduk asli sebagai lebih rendah dari manusia, yang harus ditundukkan dengan kekerasan. Selama bertahun-tahun, satu-satunya wajah Indonesia yang dilihat oleh orang Papua adalah tentara. Suharto bertanggung jawab bagi puluhan ribu orang Papua yang tewas dalam perang melawan pemberontakan dari akhir 1960an sampai 1998. Ia juga bertanggung jawab atas perang agresi terhadap Timor Timur pada tahun 1975, dan atas terbunuhnya lebih dari 100 ribu orang di sana akibat perang di separuh pulau itu. Ia juga bertanggung jawab atas terbunuhnya ribuan orang di Aceh yang juga merupakan korban perang melawan pemberontakan (1990-98), yang didesain untuk meneror penduduk sipil agar tidak mendukung gerilya, dan bukan menawarkan alternatif
yang lebih positif kepada warga sipil.
Suharto dengan keras kepala berpegang pada strateginya bahkan setelah terbukti kontra-produktif, ketika teror yang dilancarkan di Papua, Timor Timur dan Aceh menghasilkan lebih banyak perlawanan yang meluas. Hanya setelah Suharto jatuh, para politisi Indonesia mendapat kesempatan untuk mengupayakan pemecahan politis & diplomatis yang lebih manusiawi terhadap perang-perang ini: Presiden Habibie mengizinkan suatu referendum yang dilaksanakan oleh PBB di Timor Timur pada tahun 1999, dan Presiden Yudhoyono menandatangani perjanjian perdamaian dengan kaum nasionalis Aceh pada tahun 2005.
‘Program Ponzi’(*) raksasa itu pun ambruk
Dalam menilai pemerintahan Suharto, apa yang disebut pendekatan “seimbang” dari banyak sarjana Barat adalah mengkritisi Suharto tentang pelanggaran-pelanggaran HAM-nya, tetapi memuji kinerja ekonomisnya. Mereka yang terkesan oleh pertumbuhan enam persen setahun tidak berbeda dengan para investor yang mudah dikibuli dalam suatu ‘Program Ponzi’(*) raksasa, yang yakin bahwa penghasilan tinggi yang terlihat di permukaan merupakan bukti tak terbantahkan dari sebuah sukses. Pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun Suharto sebagian besar dihasilkan dengan menjual secara liar sumberdaya-sumberdaya alam negeri itu. Itu adalah pertumbuhan yang memakan dirinya sendiri, dan yang tak mungkin akan lestari.
Sektor-sektor utama adalah minyak dan kayu. Keduanya mengalami salah urus yang hebat karena korupsi. Pada hari ini Indonesia secara bersih adalah negara pengimpor minyak dan hutan-hutannya menghilang dengan cepat, dibabat oleh para logger atau dibakar oleh pemilik perkebunan kelapa sawit. Pendapatan dari semua ekspor itu tidak diinvestasikan kembali ke dalam sektor-sektor lain; uang itu lenyap masuk rekening bank dari keluarga Suharto & para kroninya (seperti Bob Hasan), dan para pejabat pemerintah.
—————
‘Program Ponzi’ : suatu operasi investasi palsu & kriminal, yang di situ para penanam modal awal mendapat hasil (“laba”) yang sangat besar yang dibayar dari investasi oleh para penanam modal yang datang belakangan, dan bukan dari hasil bersih yang berasal dari kegiatan bisnis yang benar.
—————
Setelah tiga dasawarsa pertumbuhan ekonomi a la Suharto, pemerintah Indonesia dibebani hutang banyak, dan perekonomian Indonesia tidak memiliki basis industri yang didanai dari dalam negeri. Sungguh pas kalau Suharto, yang pengikut-pengikutnya memujinya sebagai “Bapak Pembangunan”, meninggal dunia di rumah sakit yang dimiliki oleh perusahaan minyak negara (Pertamina) yang oleh keluarganya dan kroninya (seperti Ibnu Sutowo) diperas habis-habisan.
Rejim Suharto hidup dari modal asing dan mati karena modal asing. Liberalisasi sektor keuangan yang didesakkan oleh A.S. kepada Indonesia supaya dianut pada awal 1990an berakibat kerentanan yang lebih besar terhadap perubahan mendadak dalam aliran modal internasional. Uang mengalir masuk ke dalam gerombolan kleptokrat Suharto dan bank-banknya yang palsu, lalu tiba-tiba mengalir keluar lagi. ‘Program Ponzi’ raksasa itu pun runtuh dengan terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Satu-satunya legitimasi yang dimiliki oleh Suharto adalah apa yang seolah-olah tampak merupakan kemampuannya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomis. Begitu itu berakhir, maka kelas menengah yang biasanya menurut saja membalik terhadapnya, tidak mau mentolerir korupsinya, anak-anaknya yang serakah dan kroni-kroninya yang sangat immoral mencolok kekayaannya. Gerakan yang secara spontan terbentuk bagi “reformasi” ini menyatakan musuh utama mereka adalah KKN: Korupsi, Kolusi & Nepotisme. Kampanye keluarga Suharto sendiri, “Saya Cinta Rupiah”, yang datang dari mereka yang justru punya dollar paling banyak, tidak mempunyai bobot yang sama dengan slogan gerakan itu.
Segudang paranormal yang dimiliki keluarga itu tidak bisa menyelamatkan mereka; tidak pula jenderal-jenderal penjilat mereka, bahkan tidak Letnan Jenderal Prabowo, menantu Suharto yang menguasai pasukan elite di Jakarta, dan yang selalu bergelimang uang dari saudaranya yang memiliki satu-satunya pabrik baja di negeri itu. Suharto lengser pada 21 Mei 1998, ketika Jakarta masih mengepulkan asap bekas kerusuhan misterius, yang di situ toko-toko yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia keturunan Cina dibakar.
Mr. Minus
Mungkin yang terbaik dapat dikatakan tentang 32 tahun pemerintahan Suharto ialah bahwa salah-salah keadaannya bisa lebih buruk dari sekarang. Ia tidak memilih strategi jenderal-jenderal Burma dan mengisolasi negeri ini. Bergantung pada modal asing, ia rentan terhadap tekanan internasional. Pelepasan puluhan ribu tahanan politik pada akhir 1970an sebagian besar disebabkan oleh tekanan dari luar negeri. Ia tidak memilih untuk mencari legitimasi dirinya melalui agama dan menerapkan hukum Islam. Negara Indonesia sebagian besar tetap sekuler. Ia tidak memupuk kultus pribadi di seputar dirinya. Ketika menghadapi protes massal pada tahun 1998, ia tidak memilih mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Almarhum sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang menjadi tahanan politik Suharto selama 14 tahun, pernah menulis bahwa ia tidak bisa memaksa dirinya menulis tentang rejim Suharto. Sementara ia menulis banyak novel historis tentang Jawa di zaman pra-kolonial dan gerakan nasionalis Indonesia, ia berpendapat tidak ada apa-apa yang menarik untuk ditulis tentang orang yang bertanggung jawab memenjarakannya dan melarang buku-bukunya itu. Baginya, Suharto adalah suatu negativitas, apa yang dinamakannya suatu “minus X”, suatu kemunduran kembali ke zaman para aristokrat kolonial, yang menindas bawahan mereka bagi kepentingan bisnis Eropa, namun membusungkan dada memamerkan kekuatan kosmik mereka yang hebat, dan tetap berpandangan sempit dan tidak peduli terhadap sains dan seni dari Eropa yang telah menaklukkan mereka. Tidak diragukan bahwa beberapa orang akan mengingat Suharto bagi beberapa hal yang positif, tetapi sementara Indonesia berjuang mengatasi warisannya yang buruk, kita bertanya-tanya, apakah orang bisa menilai gelarnya sebagai “Bapak Pembangunan” itu sebagai sesuatu yang sahih selain sebagai sebuah guyonan yang
kejam.***